Berhenti main film layar lebar, Warkop DKI beralih ke sinetron komedi.
Meskipun Kasino dan Dono akhirnya meninggalkannya untuk selamanya karena
sakit, Indro tetap bertekad meneruskan Warkop. Sebagai bentuk penghargaannya
pada Warkop, Indro mengubah namanya jadi Indro Warkop.
Meski sempat bingung karena tak ada syuting lagi, ternyata Tuhan berkehendak
lain. Tahun berikutnya, Indosiar mengontrak kami untuk sinetron komedi
Warkop DKI. Tuh, kan, betul kataku. Rezeki enggak bakal ke mana-mana!
Masuk dunia layar kaca, mewajibkan kami beradaptasi lagi dengan dunia baru.
Meski saat itu sudah 17 tahun kami malang melintang di dunia perfilman,
secara teknik, kamera layar kaca seakan berbicara dalam bahasa yang berbeda
dengan kamera layar perak.
Mas Dono, sang intelektualnya Warkop, tentu paling antusias menghadapi
sesuatu yang baru. Pelan-pelan Mas Dono mempelajari hal-hal baru di dunia
sinetron. Dengan ilmu yang diperolehnya, ia mulai unjuk gigi menjadi
sutradara dan produser. Lucunya, walaupun sudah jadi sutradara, Mas Dono
tetap mau retake alias mengulang pengambilan gambar kalau menurut
teman-teman syutingnya kurang bagus. Hebat, ya?
Dengan adanya Warkop DKI versi sinetron komedi, kami bertiga kerap muncul di
acara-acara lain di Indosiar, misalnya Gebyar BCA. Setelah beberapa bulan
tidak muncul, senang juga rasanya bertemu lagi dengan para penggemar.
Apalagi, teve adalah media yang mencakup masyarakat luas. Jadi, misinya
tidak terlalu berbeda dari misi kami saat terjun ke layar lebar, yaitu untuk
menghibur masyarakat.
DAPAT FIRASAT SEBELUMNYA
Sayang, kegembiraan tidak berlangsung lama. Sekitar tahun 1996, Mas Kasino
mengabarkan kami bahwa ia terkena tumor otak. Aku merinding mendengar
penyakit yang dideritanya. Namun tak ada lain yang dapat kami lakukan
kecuali terus membesarkan hati Mas Kasino. Kami semangati ia agar terus
berobat dan tidak putus asa.
Pengobatan kanker lewat kemoterapi memang tidak ringan. Beberapa kali Mas
Kasino terpaksa absen dari layar sinetron yang kami garap. Setelah efek
samping pengobatan tidak terlalu parah, Mas Kasino kembali syuting. Tentu,
syuting kali ini sangat memperhitungkan kesehatan Mas Kasino.
Setelah berjuang kurang lebih setahun, akhirnya Mas Kasino kalah melawan
penyakit yang dideritanya. Beberapa saat sebelum meninggal, aku sempat
mendapat firasat. Waktu itu kami hendak mengadakan acara pengajian dan aku
berdiskusi dengannya mengenai acara tersebut. Tapi Mas Kasino malah
menjawab, "Iya, deh, kalau urusan doa, gue serahin sama yang masih hidup
saja."
Duh, Mas Kasino! Siapa sangka....
Sepeninggal Mas Kasino, terus terang, aku dan Mas Dono sempat kebingungan.
Kalau
tidak ada Mas Kasino, siapa yang bakal melakukan tugas melobi dan marketing
yang selama ini digarap Mas Kasino? Bagaimana dengan nama grup kami, Warkop
DKI? DKI, kan, singkatan nama kami bertiga, bagaimana grup kami tanpa Mas
Kasino?
Seribu "bagaimana" menggema di kepala kami. Akhirnya kami mengubah nama
menjadi Warkop Millenium. Tujuannya bukan untuk "mengenyahkan" Mas Kasino,
tapi sebagai bentuk penyegaran. Sebab, tanpa Mas Kasino, kami akan menjadi
pribadi yang sama sekali berbeda.
Meskipun Mas Kasino sudah tidak ada, aku dan Mas Dono tidak mau kalau
tayangan Warkop Millenium sampai merosot mutunya. Makanya kami bekerja
keras. Kalau dulu, aku lebih berperan sebagai pengumpan, sekarang aku dan
Mas Dono sama-sama harus bisa tampil lucu seperti dulu.
SEMPAT LUMPUH MENDADAK
Saking inginnya kerja keras, pernah dalam sebuah syuting aku harus melompat
dari balkon lantai dua setinggi empat meter. Sebagai alas jatuh, kru film
telah menumpuk kardus-kardus, sebab tak ada matras yang bisa menahan beban
yang jatuh dari ketinggian segitu.
Sayangnya, saat itu tidak ada stuntman yang bisa menggantikan peranku. Wah,
bagaimana ini? Melihat kebimbanganku, sutradara pun tidak mengharuskanku
melakukan adegan tersebut hari itu juga.
Tapi aku ingin melakukan yang terbaik. Setelah mereka-reka sebentar, aku
merasa yakin bahwa aku pasti bisa melakukannya. Lagipula, aku, kan, sudah
terbiasa melakukan kegiatan fisik semacam itu waktu aku aktif di Pramuka
dulu. Maka jadilah aku melakukan adegan tersebut. Lompatan pun berlangsung
dengan sukses.
Namun enam bulan kemudian, suatu pagi, aku tidak bisa menggerakkan kedua
kakiku. Aku lumpuh! Berkelebat di hadapan mataku, wajah istri dan ketiga
anakku. Bagaimana jika aku sampai tidak bisa bekerja? Dokter pun datang
memeriksa keadaanku.
Katanya, tulang punggungku cidera. Kelumpuhan kaki adalah efek sampingnya.
Dia lantas bertanya, "Pak Indro pernah jatuh, ya?" Sedikit pun tak terlintas
bahwa terjunku dari lantai dua waktu itu adalah penyebab dari kelumpuhan
kakiku. Untung dokter mengatakan bahwa dengan minum obat dan berlatih, aku
akan mampu berjalan lagi. Semua nasihat dokter itu kuikuti dengan patuh.
Tahu enggak, hingga akhir hayatnya, Mas Dono tidak pernah tahu tentang
kelumpuhan mendadak yang menimpaku itu. Begitu juga, tak banyak media massa
yang mengetahui kabar tersebut. Mengapa? Karena peristiwa itu terjadi saat
para mahasiswa tengah berdemo menggulingkan penguasa Orde Baru.
0 komentar:
Posting Komentar